Judul : Sengsara Membawa Nikmat
Pengarang : Tulis Sutan Sati
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : 1929
Tebal Buku : 192 Halaman
Seorang pemuda bernama Kacak, karena merasa Mamaknya adalah seorang Kepala Desa yang dikuti, selalu bertingkah angkuh dan sombong. Dia suka ingin menang sendiri. Kacak paling tidak senang melihat orang bahagia atau yang melebihi dirinya. Kacak kurang disukai orang-orang kampungnya karena sifatnya yang demikian. Beda dengan Midun, walaupun anak orang miskin, namun sangat disukai oleh orang-orang kampungnya. Sebab Midun mempunyai perangai yang baik, sopan, taat agama, ramah serta pintar silat. Midun tidak sombong seperti Kacak.
Karena Midun banyak disukai orang, maka Kacak begitu iri dan dengki pada Midun. Kacak sangat benci pada Midun. Sering dia mencari kesempatan untuk bisa mencelakakan Midun, namun tidak pernah berhasil. Dia sering mencari gara-gara agar Midun marah padanya, namun Midun tak pernah mau menanggapinya. Midun selalu menghindar ketika diajak Kacak untuk berkelahi. Midun bukan takut kalah dalam berkelahi dengan Kacak, karena dia tidak senang berkelahi saja. Ilmu silat yang dia miliki dari hasil belajarnya pada Haji Abbas bukan untuk dipergunakan berkelahi dan mencari musuh tapi untuk membela diri dan mencari teman.
Suatu hari istri Kacak terjatuh dalam sungai. Dia hampir lenyap dibawa arus. Untung waktu itu Midun sedang berada dekat tempat kejadian itu. Midun dengan sigap menolong istri Kacak itu. Istri Kacak selamat berkat pertolongan Midun. Kacak malah balik menuduh Midun bahwa Midun hendak memperkosa istrinya. Air susu dibalas dengan air tuba. Begitulah Kacak berterima kasih pada Midun. Waktu itu Midun menanggapi tantangan itu. Dalam perkelahian itu Midun yang menang. Karena kalah, Kacak menjadi semakin marah pada Midun. Kacak melaporkan semuanya pada Tuanku Laras. Kacak memfitnah Midun waktu itu, rupanya Tuanku Laras percaya dengan tuduhan Kacak itu. Midun mendapat hukuman dari Tuanku Laras.
Midun diganjar hukuman oleh Tuanku Laras, yaitu harus bekerja di rumah Tuanku Laras tanpa mendapat gaji. Sedangkan orang yang ditugaskan oleh Tuanku Laras untuk mengwasi Midun selama menjalani hukuman itu adalah Kacak. Mendapat tugas itu, Kacak demikian bahagia. Kacak memanfaatkan untuk menyiksa Midun. Hampir tiap hari Midun diperlakukan secara kasar. Pukulan dan tendangan Kacak hampir tiap hari menghantam Midun. Juga segala macam kata-kata hinaan dari Kacak tiap hari mampir di telinga Midun. Namun semua perlakuan itu Midun terima dengan penuh kepasrahan.
Walaupun Midun telah mendapat hukuman dari Mamaknya itu, namun Kacak rupanya belum puas juga. Dia belum puas sebab Midun masih dengan bebas berkeliaran di kampung utu. Dia tidak rela dan ikhlas kalau Midun masih berada di kampung itu. Kalau Midun masih berada di kampung mereka, itu berarti masih menjadi semacam penghalang utama bagi Kacak untuk bisa berbuat seenaknya di kampung itu. Untuk itulah dia hendak melenyapkan Midun dari kampung mereka untuk selama-lamanya.
Untuk melaksanakan niatnya itu, Kacak membayar beberapa orang pembunuh bayaran untuk melenyapkan Midun. Usaha untuk melenyapkan Midun itu mereka laksanakan ketika di kampung itu diadakan suatu perlombaan kuda. Sewaktu Midun dan Maun sedang membeli makanan di warung kopi di pinggir gelanggang pacuan kuda itu, orang-orang sewaan Kacak itu menyerang Midun dengan sebelah Midun pisau.
Tapi untung Midun berhasil mengelaknya. Namun perkelahian antar mereka tidak bisa dihindari. Maka terjadilah keributan di dalam acar pacuan kuda itu. Perkelahian itu berhenti ketika polisi datang. Midun dan Maun langsung ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.
Setelah diperiksa, Maun dibebaskan. Sedangkan Midun dinyatakan bersalah dan wajib mendekam dalam penjara. Mendengar kabar itu, waduuh betapa senangnya hati Kacak. Dengan Midun masuk penjara, maka dia bisa dengan bebas berbuat di kampung itu tanpa ada orang yang berani menjadi penghalangnya.
Selama di penjara itu, Midun mengalami berbagai siksaan. Dia di siksa oleh Para sipir penjara ataupun oleh Para tahanan yang ada dalam penjara itu. Para tahanan itu baru tidak berani mengganggu Midun ketika Midun suatu hari ber¬hasil mengalahkan si jago Para tahanan.
Karena yang paling dianggap jago oleh Para tahanan itu kalah, mereka kemudian pada takut dengan Midun. Midun sejak itu sangat dihormati oleh para tahanan lainnya. Midun menjadi sahabat mereka.
Suatu hari, ketika Midun sedang bertugas menyapu jalan, Midun Melihat seorang wanita cantik sedang duduk duduk melamun di bawah pohon kenari. Ketika gadis itu pergi, ternyata kalung yang dikenakan gadis itu tertinggal di bawah pohon itu. Kalung itu kemudian dikembalikan oleh Midun ke rumah si gadis. Betapa senang hati gadis itu. Gadis itu sampai jatuh hati sama Midun. Midun juga temyata jatuh hati juga sama si gadis. Nama gadis itu adalah Halimah.
Setelah pertemuan itu, mereka berdua saling bertemu dekat jalan dulu itu. Mereka saling cerita pengalaman hidup, Halimah bercerita bahwa dia tinggal dengan seorang ayah tiri. Dia merasa tidak bebas tinggal dengan ayah tirinya. Dia hendak pergi dari rumah. Dia sangat mengharapkan suatu saat dia bisa tinggal dengan ayahnya yang waktu itu tinggal di Bogor.
Keluar dari penjara, Midun membawa lari Halimah dari rumah ayah tirinya itu. Usaha Midun itu dibantu oleh Pak Karto seorang sipir penjara yang baik hati. Midun membawa Halimah ke Bogor ke rumah orang tua Halimah.
Ayah Halimah orangnya baik. Dia sangat senang kalau Midun bersedia tinggal bersama mereka. Kurang lebih dua bulan Midun bersama ayah Halimah. Midun merasa tidak enak selama tinggal dengan keluarga Halimah itu hanya tinggal makan minum saja. Dia mulai hendak mencari penghasilan. Dia kemudian pergi ke Jakarta mencari kerja. Dalam Perjalanan ke Jakarta. Midun berkenalan dengan saudagar kaya keturunan arab. Nama saudagar ini sebenarnya seorang rentenir. Dengan tanpa pikiran yang jelek-jelek, Midun mau menerima uang pinjaman Syehk itu.
Sesuai dengan saran Syehk itu, Midun membuka usaha dagang di Jakarta. Usaha Midun makin lama makin besar.
Usahanya maju pesat. Melihat kemajuan usaha dagang yang dijalani Midun, rupanya membuat Syehk Abdullah Al-Hadramut iri hati. Dia menagih hutangnya Midun dengan jumlah yang jauh sekali dari jumlah pinjaman Midun. Tentu saja Midun tidak bersedia membayarnya dengan jumlah yang berlipat lipat itu. Setelah gagal mendesak Midun dengan cara demikian, rupanya Syehk menagih dengan cara lain. Dia bersedia uangnya tidak di¬bayar atau dianggap lunas, asal Midun bersedia menyerahkan Halimah untuk dia jadikan sebagai istrinya. Jelas tawaran itu membuat Midun marah besar pada Syehk . Halimah juga sangat marah pada Syehk.
Karena gagal lagi akhirnya Syehk mengajukan Midun ke meja hijau. Midun diadili dengan tuntutan hutang. Dalam persidangan itu Midun dinyatakan bersalah oleh pihak pengadilan. Midun masuk penjara lagi.
Di hari Midun bebas itu, Midun jalan jalan dulu ke Pasar Baru. Sampai di pasar itu, tiba tiba Midun melihat suatu keributan. Ada seorang pribumi sedang mengamuk menyerang seorang Sinyo Belanda. Tanpa pikir panjang Midun yang suka menolong_orang itu, langsung menyelamatkan Si Sinyo Belanda.itu. Sinyo Belanda itu sangat berterima kasih pada Midun yang telah menyelamatkan nyawanya itu.
Oleh Sinyo Belanda itu, Midun kemudian diperkenalkan kepada orang tua Sinyo itu. Orang tua Sinyo Belanda itu ternyata seorang Kepala Komisaris, yang dikenal sebagai Tuan Hoofdcommissaris. Sebagai ucapan terima kasihnya pada Midun yang telah menyelamatkan anaknya itu, Midun langsung diberinya pekerjaan. Pekerjaan Midun sebagai seorang juru Tulis.
Setelah mendapat pekerjaan itu, Midun pun melamar Halimah. Dan mereka pun menikah di Bogor di rumah orang tua Halimah.
Prestasi kerja Midun begitu baik di mata pimpinannya. Midun kemudian diangkat menjadi Kepala Mantri Polisi di Tanjung Priok. Dia langsung ditu¬gaskan menumpas para penyeludup di Medan. Selama di Medan itu, Midun, bertemu dengan adiknya, yaitu Manjau. Manjau bercerita banyak tentang kampung halamannya. Midun begitu sedih rnendengar kabar keluarganya di kampung yang hidup menderita. Oleh karena itu ketika dia pulang ke Jakarta, Midun langsung minta ditugaskan di Kampung halamannya. Permintaan Midun itu dipenuhi oleh pimpinannya.
Kepulangan Midun ke kampung halamannya itu membuat Kacak sangat gelisah. Kacak waktu itu sudah menjadi penghulu di kampung rnereka. Kacak menjadi gelisah sebab dia takut perbuatannya yang telah menggelap¬kan kas negara itu akan terbongkar. Dan dia yakin Midun akan berhasil rnembongkar perbuatan jeleknya itu. Tidak, lama kemudian, memang Kacak ditangkap. Dia terbukti telah menggelapkan uang kas negara yang ada di desa mereka. Akibatnya Kacak masuk penjara atas perbuatannva itu.
Sedangkan Midun hidup berbahagia bersama istri dan seluruh keluarga¬nya di kampung.
Analisis Instrinsik Novel Sengsara Membawa Nikmat
Tema : Kesabaran seseorang dalam menerima penderitaan
Tokoh dan Penokohan :
1. Midun adalah seorang pemuda berbudi, sopan, taat pada agama, serta penyabar.
2. Tuanku Laras adalah seorang Kepala Kampung yang sangat kaya. Dia sangat ditakuti dan disegani dikampungnya.
3. Kacak adalah seorang pemuda yang mempunyai sifat dan tingkah laku kurang baik. Dia angkuh, kasar, serta suka berpoya-poya.
4. Haji Abbas adalah seorang penghulu dan guru ngaji serta guru silat.
5. Maun adalah seorang pemuda berbudi, sopan, serta taat kepada ajaran agama. Dia sahabat kental Midun.
6. Halimah adalah seorang gadis yatim. Dia tinggal dengan ayah tirinya yang kaya raya. Dia termasuk perempuan berbudi dan taat pada agama.
7. Pak Karto adalah seorang sipir penjara tempat Midun sewaktu dipenjara di Jakarta. Dia mempunyai hati yang baik.
8. Syekh Abdullah Al-Hadramut adalah saudagar kaya keturunan Arab. Hatinya kurang baik. Dia terkenal sebagai seorang rentenir.
9. Tuan Hoofdcommissaris adalah seorang kompeni dengan jabatan sebagai Kepala Komisaris. Dia mempunyai hati yang baik.
10. Manjau adalah pemuda baik-baik, adik kandung Midun.
Alur : Maju
Latar : Latar tempat
a. Padang (Minangkabau)
b. Bogor
c. Jakarta
Amanat : - Bersabarlah dalam menjalani kehidupan karena tak ada kehidupan yang tanpa ujian atau cobaan, dan percayalah bahwa dibalik cobaan dan ujian yang datang pasti ada hikmah yang tersembunyi.
- Pandai-pandailah mengemudikan hawa nafsu. Hawa nafsu tak ada batasnya dan hawa nafsu ini kerap kali menjerumuskan orang pada lembah kesengsaraan.
Sudut Pandang : Sudut pandang dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat yaitu sudut pandang serba tahu.
Dalam tipe ini tentunya pengarang akan bertindak serba tahu. Pengarang mengetahui serba watak, keadaan, sifat hidup, dan sebagainya darai semua yang ada. Dari tingkah laku yang amat pribadi sampai kepada hal-hal yang jelas kelihatan dari setiap tokoh. Dari pikiran yang terselubung sampai kepada aktivitas konkret dapat diamati. Pendek kata, pengarang benar-benar berperan sebagai seorang dalang yang menciptakan bahkan menentukan segala yang ada. Pengarang tidak hanya tahu ciri-ciri lahir maupun isi hati semua tokoh dalam cerita yang dikarangnya, tetapi juga tahu tentang nasib yang akan dialami tokoh-tokoh itu.
Gaya Penulisan : Dalam penulisan Novel Sengsara Membawa Nikmat pengarang lebih banyak menggunakan bahasa melayu yang tidak lain yakni bahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau.
Kutipan-Kutipan Dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat
- Padamu kami harap jangan ada tabiat yang demikian. Hal itu semata-mata mencelakakan diri sendiri. Tidak ada yang selamat, binasa juga akhir kelaknya. Dari pada sahabat kenalan kita pun terjatuh pula. Contohnya ilmu padi, kian berisi kian runduk. Begitulah yang kami sukai dalam pergaulan bersama. Satupun ada faedahnya memegahkan diri, hendak memperlihatkan pandai begini, tahu begitu. Asal tidak akan merusakkan kesopanan diri, dalam percakapan atau tingkah laku, lebih baik merendah saja. Bukanlah hal itu menghabiskan waktu saja. Pergunakanlah waktu itu bagi yang mendatangkan keselamatan dan keuntungan dirimu.
- Berani, karena benar. Takut karena salah. Akuilah kesalahan itu, jika sebenarnya bersalah. Tetapi perlihatkan keberanian, akan menunjukkan kebenaran. Anak muda biasanya lekas naik darah. Hal itu seboleh-bolehnya ditahan. Dalam segala hal hendaklah berlaku sabar. Apalagi kalau ditimpa malapetaka, haruslah diterima dengan tulus ikhlas, tetapi bilamana perlu janganlah undur barang setapak jua pun.
- Begitu pulanya dengan hawa nafsu. Hawa nafsu itu tak ada batasnya. Dialah yang kerapkali menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan. Jika tak pandai mengemudikan hawa nafsu, alamat badan akan binasa. Jika diturutkan hawa nafsu, mau ia sampai ke langit yang ke delapan–jika ada langit yang ke delapan. Oleh karena itu biasakan diri memandang ke bawah, jangan selalu ke atas. Hendaklah pandai-pandai memegang kendali hawa nafsu, supaya selamat diri hidup di dunia ini. Pikir itu pelita hati. Karena itu pekerjaan yang hendak dilakukan, pikirkan dalam-dalam, timbang dahulu baik buruknya.
- Lihat-lihat kawan seiiring, kata orang. Dalam pergaulan hidup hendaknya ingat-ingat. Jauhi segala percederaan. Bercampur dengan orang alim. Tak dapat tiada kita alim pula. Bergaul dengan pemaling, sekurang-kurangnya jadi ajar. Sebab itu pandai-pandai mencari sahabat kenalan. Jangan dengan sebarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang membinasakan kita. Daripada bersahabat dengan seribu orang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai.
- “Memang engkau musuhku, jahanam!” ujar Kacak dengan bengis.” Engkaulah yang menghasut orang benci kepadaku. Engkau hendak jadi raja di kampung ini, binatang!”
- Midun berkata, “Sabarlah Ibu, jangan menangis juga. Ini baru siksaan dunia yang hamba rasai, di akhirat nanti entah lebih daripada ini penanggungan kita. Bukankah tiap-tiap sesuatu itu telah takdir Tuhan, Ibu! Jadi apa yang terjadi halnya dengan mengumpat Tuhan jua.
- Bukankah sudah saya katakan, bahwa saya siap akan menolong Uni bilamana perlu. Jangankan ke tanah Jawa, ke laut api sekalipun saya turut.
- “Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi, “ujar Midun tiba-tiba.” Susahnya yang sebagai Ponggok merindukan bulan. Badan loyang disangka emas.”
Kayu rukam jangan dikelam,
Kemuning tua dikerat-kerat.
Jika hitam, banyak yang hitam,
Yang kuning jua membawa larat.
- Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, karena terdorong itu.
- Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun yang amat dalam pengertiannya itu.
- Biar bagaimana pipit itu akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang di cita datang yang dimaksud sampai.
- Rupanya saya bagi ayah, buah hati pengarang jantung, timbangan nyawa, semangat badan.
- Hidup ini sebagai roda, Udo! Sekali naik, sekali turun, tiap-tiap kesenangan mesti ada kesusahan.
- Memang demikianlah kehendak Tuhan dan kemauan alam. Tidak boleh kita menyesali, karena sudah nasib sejak di rahim bunda kandung.
- Bukanlah perkataan yang lemah lembut itu anak kunci hati segala manusia.
- Midun kena sihir, tepat benar kenanya. Perjalanan darahnya sekonyong-konyong berubah. Hatinya kembang kempis, darah Midun berdebar, tetapi ia tidak dapat berkata-kata.
Pisang emas bawa belayar,
masak sebiji di atas peti.
Utang mas boleh dibayar,
utang budi dibawa mati.
Pulau Pandan jauh di tengah,
Di balik pulau Angsa Dua.
Hancur badan di kandung tanah,
Busi baik terkenang jua.
- Kiranya tidaklah demikian, bahkan bertambah pula dengan makan hati berulam jantung. Bermacam-macam penanggungan yang telah kita rasai, disebabkan untuk nasib kita yang celaka jua.
- Apa boleh buat. Halimah! Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak guna.
- Mulut bapak tirimu yang manis dan perbuatannya yang baik itu, rupanya berudang di balik batu.
- Mendengar perkataan itu janganlah hati senang, melainkan sebagai tercocok duri jantung saya.
- Saya berdiam diri saja seperti patung, mendengar kata-katanya itu.
- Mukanya merah, urat keningnya membengkak mendengar perkataan saya yang pedas itu.
- Kiranya saya pergi ke rumahnya itu masuk jerat semat-mata; dan tidaklah salah rasanya bila dikatakan, hal saya waktu itu adalah seperti lepas dari mulut harimau jatuh ke dalam mulut buaya.
- Rambutnya ikal sebagai awan berarak. Mukanya bulat bulan penuh. Matanya laksana bintang timur bersanding dua, dan hidungnya bagai dasun tunggal. Pipinya seperti pauh dilayang, bibirnya lamau seulas, mulutnya delima merekah.
- “Mudah-mudahan dapatlah sebagai yang Udo cita-citakan itu. Jika untung, ikan di laut asam digunung, lamun akan bertemu takkan dapat disangkal.
- Halimah pura-pura melayangkan pemandangannya ke laut lepas, melihat ombak tanjung cina yang segunung-gunung tingginya itu.
- Segala perasaannya pada Halimah, disimpannya dalam peti wasiat di sanubarinya.
- Mendengar perkataan Syekh Abdullah demikian itu, naiklah darah Midun.
- Ia mau terkurung selama hidupnya, asal jangan karena dia Halimah terserah kepada orang Arab mata keranjang itu
Pengarang : Tulis Sutan Sati
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : 1929
Tebal Buku : 192 Halaman
Seorang pemuda bernama Kacak, karena merasa Mamaknya adalah seorang Kepala Desa yang dikuti, selalu bertingkah angkuh dan sombong. Dia suka ingin menang sendiri. Kacak paling tidak senang melihat orang bahagia atau yang melebihi dirinya. Kacak kurang disukai orang-orang kampungnya karena sifatnya yang demikian. Beda dengan Midun, walaupun anak orang miskin, namun sangat disukai oleh orang-orang kampungnya. Sebab Midun mempunyai perangai yang baik, sopan, taat agama, ramah serta pintar silat. Midun tidak sombong seperti Kacak.
Karena Midun banyak disukai orang, maka Kacak begitu iri dan dengki pada Midun. Kacak sangat benci pada Midun. Sering dia mencari kesempatan untuk bisa mencelakakan Midun, namun tidak pernah berhasil. Dia sering mencari gara-gara agar Midun marah padanya, namun Midun tak pernah mau menanggapinya. Midun selalu menghindar ketika diajak Kacak untuk berkelahi. Midun bukan takut kalah dalam berkelahi dengan Kacak, karena dia tidak senang berkelahi saja. Ilmu silat yang dia miliki dari hasil belajarnya pada Haji Abbas bukan untuk dipergunakan berkelahi dan mencari musuh tapi untuk membela diri dan mencari teman.
Suatu hari istri Kacak terjatuh dalam sungai. Dia hampir lenyap dibawa arus. Untung waktu itu Midun sedang berada dekat tempat kejadian itu. Midun dengan sigap menolong istri Kacak itu. Istri Kacak selamat berkat pertolongan Midun. Kacak malah balik menuduh Midun bahwa Midun hendak memperkosa istrinya. Air susu dibalas dengan air tuba. Begitulah Kacak berterima kasih pada Midun. Waktu itu Midun menanggapi tantangan itu. Dalam perkelahian itu Midun yang menang. Karena kalah, Kacak menjadi semakin marah pada Midun. Kacak melaporkan semuanya pada Tuanku Laras. Kacak memfitnah Midun waktu itu, rupanya Tuanku Laras percaya dengan tuduhan Kacak itu. Midun mendapat hukuman dari Tuanku Laras.
Midun diganjar hukuman oleh Tuanku Laras, yaitu harus bekerja di rumah Tuanku Laras tanpa mendapat gaji. Sedangkan orang yang ditugaskan oleh Tuanku Laras untuk mengwasi Midun selama menjalani hukuman itu adalah Kacak. Mendapat tugas itu, Kacak demikian bahagia. Kacak memanfaatkan untuk menyiksa Midun. Hampir tiap hari Midun diperlakukan secara kasar. Pukulan dan tendangan Kacak hampir tiap hari menghantam Midun. Juga segala macam kata-kata hinaan dari Kacak tiap hari mampir di telinga Midun. Namun semua perlakuan itu Midun terima dengan penuh kepasrahan.
Walaupun Midun telah mendapat hukuman dari Mamaknya itu, namun Kacak rupanya belum puas juga. Dia belum puas sebab Midun masih dengan bebas berkeliaran di kampung utu. Dia tidak rela dan ikhlas kalau Midun masih berada di kampung itu. Kalau Midun masih berada di kampung mereka, itu berarti masih menjadi semacam penghalang utama bagi Kacak untuk bisa berbuat seenaknya di kampung itu. Untuk itulah dia hendak melenyapkan Midun dari kampung mereka untuk selama-lamanya.
Untuk melaksanakan niatnya itu, Kacak membayar beberapa orang pembunuh bayaran untuk melenyapkan Midun. Usaha untuk melenyapkan Midun itu mereka laksanakan ketika di kampung itu diadakan suatu perlombaan kuda. Sewaktu Midun dan Maun sedang membeli makanan di warung kopi di pinggir gelanggang pacuan kuda itu, orang-orang sewaan Kacak itu menyerang Midun dengan sebelah Midun pisau.
Tapi untung Midun berhasil mengelaknya. Namun perkelahian antar mereka tidak bisa dihindari. Maka terjadilah keributan di dalam acar pacuan kuda itu. Perkelahian itu berhenti ketika polisi datang. Midun dan Maun langsung ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.
Setelah diperiksa, Maun dibebaskan. Sedangkan Midun dinyatakan bersalah dan wajib mendekam dalam penjara. Mendengar kabar itu, waduuh betapa senangnya hati Kacak. Dengan Midun masuk penjara, maka dia bisa dengan bebas berbuat di kampung itu tanpa ada orang yang berani menjadi penghalangnya.
Selama di penjara itu, Midun mengalami berbagai siksaan. Dia di siksa oleh Para sipir penjara ataupun oleh Para tahanan yang ada dalam penjara itu. Para tahanan itu baru tidak berani mengganggu Midun ketika Midun suatu hari ber¬hasil mengalahkan si jago Para tahanan.
Karena yang paling dianggap jago oleh Para tahanan itu kalah, mereka kemudian pada takut dengan Midun. Midun sejak itu sangat dihormati oleh para tahanan lainnya. Midun menjadi sahabat mereka.
Suatu hari, ketika Midun sedang bertugas menyapu jalan, Midun Melihat seorang wanita cantik sedang duduk duduk melamun di bawah pohon kenari. Ketika gadis itu pergi, ternyata kalung yang dikenakan gadis itu tertinggal di bawah pohon itu. Kalung itu kemudian dikembalikan oleh Midun ke rumah si gadis. Betapa senang hati gadis itu. Gadis itu sampai jatuh hati sama Midun. Midun juga temyata jatuh hati juga sama si gadis. Nama gadis itu adalah Halimah.
Setelah pertemuan itu, mereka berdua saling bertemu dekat jalan dulu itu. Mereka saling cerita pengalaman hidup, Halimah bercerita bahwa dia tinggal dengan seorang ayah tiri. Dia merasa tidak bebas tinggal dengan ayah tirinya. Dia hendak pergi dari rumah. Dia sangat mengharapkan suatu saat dia bisa tinggal dengan ayahnya yang waktu itu tinggal di Bogor.
Keluar dari penjara, Midun membawa lari Halimah dari rumah ayah tirinya itu. Usaha Midun itu dibantu oleh Pak Karto seorang sipir penjara yang baik hati. Midun membawa Halimah ke Bogor ke rumah orang tua Halimah.
Ayah Halimah orangnya baik. Dia sangat senang kalau Midun bersedia tinggal bersama mereka. Kurang lebih dua bulan Midun bersama ayah Halimah. Midun merasa tidak enak selama tinggal dengan keluarga Halimah itu hanya tinggal makan minum saja. Dia mulai hendak mencari penghasilan. Dia kemudian pergi ke Jakarta mencari kerja. Dalam Perjalanan ke Jakarta. Midun berkenalan dengan saudagar kaya keturunan arab. Nama saudagar ini sebenarnya seorang rentenir. Dengan tanpa pikiran yang jelek-jelek, Midun mau menerima uang pinjaman Syehk itu.
Sesuai dengan saran Syehk itu, Midun membuka usaha dagang di Jakarta. Usaha Midun makin lama makin besar.
Usahanya maju pesat. Melihat kemajuan usaha dagang yang dijalani Midun, rupanya membuat Syehk Abdullah Al-Hadramut iri hati. Dia menagih hutangnya Midun dengan jumlah yang jauh sekali dari jumlah pinjaman Midun. Tentu saja Midun tidak bersedia membayarnya dengan jumlah yang berlipat lipat itu. Setelah gagal mendesak Midun dengan cara demikian, rupanya Syehk menagih dengan cara lain. Dia bersedia uangnya tidak di¬bayar atau dianggap lunas, asal Midun bersedia menyerahkan Halimah untuk dia jadikan sebagai istrinya. Jelas tawaran itu membuat Midun marah besar pada Syehk . Halimah juga sangat marah pada Syehk.
Karena gagal lagi akhirnya Syehk mengajukan Midun ke meja hijau. Midun diadili dengan tuntutan hutang. Dalam persidangan itu Midun dinyatakan bersalah oleh pihak pengadilan. Midun masuk penjara lagi.
Di hari Midun bebas itu, Midun jalan jalan dulu ke Pasar Baru. Sampai di pasar itu, tiba tiba Midun melihat suatu keributan. Ada seorang pribumi sedang mengamuk menyerang seorang Sinyo Belanda. Tanpa pikir panjang Midun yang suka menolong_orang itu, langsung menyelamatkan Si Sinyo Belanda.itu. Sinyo Belanda itu sangat berterima kasih pada Midun yang telah menyelamatkan nyawanya itu.
Oleh Sinyo Belanda itu, Midun kemudian diperkenalkan kepada orang tua Sinyo itu. Orang tua Sinyo Belanda itu ternyata seorang Kepala Komisaris, yang dikenal sebagai Tuan Hoofdcommissaris. Sebagai ucapan terima kasihnya pada Midun yang telah menyelamatkan anaknya itu, Midun langsung diberinya pekerjaan. Pekerjaan Midun sebagai seorang juru Tulis.
Setelah mendapat pekerjaan itu, Midun pun melamar Halimah. Dan mereka pun menikah di Bogor di rumah orang tua Halimah.
Prestasi kerja Midun begitu baik di mata pimpinannya. Midun kemudian diangkat menjadi Kepala Mantri Polisi di Tanjung Priok. Dia langsung ditu¬gaskan menumpas para penyeludup di Medan. Selama di Medan itu, Midun, bertemu dengan adiknya, yaitu Manjau. Manjau bercerita banyak tentang kampung halamannya. Midun begitu sedih rnendengar kabar keluarganya di kampung yang hidup menderita. Oleh karena itu ketika dia pulang ke Jakarta, Midun langsung minta ditugaskan di Kampung halamannya. Permintaan Midun itu dipenuhi oleh pimpinannya.
Kepulangan Midun ke kampung halamannya itu membuat Kacak sangat gelisah. Kacak waktu itu sudah menjadi penghulu di kampung rnereka. Kacak menjadi gelisah sebab dia takut perbuatannya yang telah menggelap¬kan kas negara itu akan terbongkar. Dan dia yakin Midun akan berhasil rnembongkar perbuatan jeleknya itu. Tidak, lama kemudian, memang Kacak ditangkap. Dia terbukti telah menggelapkan uang kas negara yang ada di desa mereka. Akibatnya Kacak masuk penjara atas perbuatannva itu.
Sedangkan Midun hidup berbahagia bersama istri dan seluruh keluarga¬nya di kampung.
Analisis Instrinsik Novel Sengsara Membawa Nikmat
Tema : Kesabaran seseorang dalam menerima penderitaan
Tokoh dan Penokohan :
1. Midun adalah seorang pemuda berbudi, sopan, taat pada agama, serta penyabar.
2. Tuanku Laras adalah seorang Kepala Kampung yang sangat kaya. Dia sangat ditakuti dan disegani dikampungnya.
3. Kacak adalah seorang pemuda yang mempunyai sifat dan tingkah laku kurang baik. Dia angkuh, kasar, serta suka berpoya-poya.
4. Haji Abbas adalah seorang penghulu dan guru ngaji serta guru silat.
5. Maun adalah seorang pemuda berbudi, sopan, serta taat kepada ajaran agama. Dia sahabat kental Midun.
6. Halimah adalah seorang gadis yatim. Dia tinggal dengan ayah tirinya yang kaya raya. Dia termasuk perempuan berbudi dan taat pada agama.
7. Pak Karto adalah seorang sipir penjara tempat Midun sewaktu dipenjara di Jakarta. Dia mempunyai hati yang baik.
8. Syekh Abdullah Al-Hadramut adalah saudagar kaya keturunan Arab. Hatinya kurang baik. Dia terkenal sebagai seorang rentenir.
9. Tuan Hoofdcommissaris adalah seorang kompeni dengan jabatan sebagai Kepala Komisaris. Dia mempunyai hati yang baik.
10. Manjau adalah pemuda baik-baik, adik kandung Midun.
Alur : Maju
Latar : Latar tempat
a. Padang (Minangkabau)
b. Bogor
c. Jakarta
Amanat : - Bersabarlah dalam menjalani kehidupan karena tak ada kehidupan yang tanpa ujian atau cobaan, dan percayalah bahwa dibalik cobaan dan ujian yang datang pasti ada hikmah yang tersembunyi.
- Pandai-pandailah mengemudikan hawa nafsu. Hawa nafsu tak ada batasnya dan hawa nafsu ini kerap kali menjerumuskan orang pada lembah kesengsaraan.
Sudut Pandang : Sudut pandang dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat yaitu sudut pandang serba tahu.
Dalam tipe ini tentunya pengarang akan bertindak serba tahu. Pengarang mengetahui serba watak, keadaan, sifat hidup, dan sebagainya darai semua yang ada. Dari tingkah laku yang amat pribadi sampai kepada hal-hal yang jelas kelihatan dari setiap tokoh. Dari pikiran yang terselubung sampai kepada aktivitas konkret dapat diamati. Pendek kata, pengarang benar-benar berperan sebagai seorang dalang yang menciptakan bahkan menentukan segala yang ada. Pengarang tidak hanya tahu ciri-ciri lahir maupun isi hati semua tokoh dalam cerita yang dikarangnya, tetapi juga tahu tentang nasib yang akan dialami tokoh-tokoh itu.
Gaya Penulisan : Dalam penulisan Novel Sengsara Membawa Nikmat pengarang lebih banyak menggunakan bahasa melayu yang tidak lain yakni bahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau.
Kutipan-Kutipan Dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat
- Padamu kami harap jangan ada tabiat yang demikian. Hal itu semata-mata mencelakakan diri sendiri. Tidak ada yang selamat, binasa juga akhir kelaknya. Dari pada sahabat kenalan kita pun terjatuh pula. Contohnya ilmu padi, kian berisi kian runduk. Begitulah yang kami sukai dalam pergaulan bersama. Satupun ada faedahnya memegahkan diri, hendak memperlihatkan pandai begini, tahu begitu. Asal tidak akan merusakkan kesopanan diri, dalam percakapan atau tingkah laku, lebih baik merendah saja. Bukanlah hal itu menghabiskan waktu saja. Pergunakanlah waktu itu bagi yang mendatangkan keselamatan dan keuntungan dirimu.
- Berani, karena benar. Takut karena salah. Akuilah kesalahan itu, jika sebenarnya bersalah. Tetapi perlihatkan keberanian, akan menunjukkan kebenaran. Anak muda biasanya lekas naik darah. Hal itu seboleh-bolehnya ditahan. Dalam segala hal hendaklah berlaku sabar. Apalagi kalau ditimpa malapetaka, haruslah diterima dengan tulus ikhlas, tetapi bilamana perlu janganlah undur barang setapak jua pun.
- Begitu pulanya dengan hawa nafsu. Hawa nafsu itu tak ada batasnya. Dialah yang kerapkali menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan. Jika tak pandai mengemudikan hawa nafsu, alamat badan akan binasa. Jika diturutkan hawa nafsu, mau ia sampai ke langit yang ke delapan–jika ada langit yang ke delapan. Oleh karena itu biasakan diri memandang ke bawah, jangan selalu ke atas. Hendaklah pandai-pandai memegang kendali hawa nafsu, supaya selamat diri hidup di dunia ini. Pikir itu pelita hati. Karena itu pekerjaan yang hendak dilakukan, pikirkan dalam-dalam, timbang dahulu baik buruknya.
- Lihat-lihat kawan seiiring, kata orang. Dalam pergaulan hidup hendaknya ingat-ingat. Jauhi segala percederaan. Bercampur dengan orang alim. Tak dapat tiada kita alim pula. Bergaul dengan pemaling, sekurang-kurangnya jadi ajar. Sebab itu pandai-pandai mencari sahabat kenalan. Jangan dengan sebarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang membinasakan kita. Daripada bersahabat dengan seribu orang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai.
- “Memang engkau musuhku, jahanam!” ujar Kacak dengan bengis.” Engkaulah yang menghasut orang benci kepadaku. Engkau hendak jadi raja di kampung ini, binatang!”
- Midun berkata, “Sabarlah Ibu, jangan menangis juga. Ini baru siksaan dunia yang hamba rasai, di akhirat nanti entah lebih daripada ini penanggungan kita. Bukankah tiap-tiap sesuatu itu telah takdir Tuhan, Ibu! Jadi apa yang terjadi halnya dengan mengumpat Tuhan jua.
- Bukankah sudah saya katakan, bahwa saya siap akan menolong Uni bilamana perlu. Jangankan ke tanah Jawa, ke laut api sekalipun saya turut.
- “Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi, “ujar Midun tiba-tiba.” Susahnya yang sebagai Ponggok merindukan bulan. Badan loyang disangka emas.”
Kayu rukam jangan dikelam,
Kemuning tua dikerat-kerat.
Jika hitam, banyak yang hitam,
Yang kuning jua membawa larat.
- Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, karena terdorong itu.
- Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun yang amat dalam pengertiannya itu.
- Biar bagaimana pipit itu akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang di cita datang yang dimaksud sampai.
- Rupanya saya bagi ayah, buah hati pengarang jantung, timbangan nyawa, semangat badan.
- Hidup ini sebagai roda, Udo! Sekali naik, sekali turun, tiap-tiap kesenangan mesti ada kesusahan.
- Memang demikianlah kehendak Tuhan dan kemauan alam. Tidak boleh kita menyesali, karena sudah nasib sejak di rahim bunda kandung.
- Bukanlah perkataan yang lemah lembut itu anak kunci hati segala manusia.
- Midun kena sihir, tepat benar kenanya. Perjalanan darahnya sekonyong-konyong berubah. Hatinya kembang kempis, darah Midun berdebar, tetapi ia tidak dapat berkata-kata.
Pisang emas bawa belayar,
masak sebiji di atas peti.
Utang mas boleh dibayar,
utang budi dibawa mati.
Pulau Pandan jauh di tengah,
Di balik pulau Angsa Dua.
Hancur badan di kandung tanah,
Busi baik terkenang jua.
- Kiranya tidaklah demikian, bahkan bertambah pula dengan makan hati berulam jantung. Bermacam-macam penanggungan yang telah kita rasai, disebabkan untuk nasib kita yang celaka jua.
- Apa boleh buat. Halimah! Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak guna.
- Mulut bapak tirimu yang manis dan perbuatannya yang baik itu, rupanya berudang di balik batu.
- Mendengar perkataan itu janganlah hati senang, melainkan sebagai tercocok duri jantung saya.
- Saya berdiam diri saja seperti patung, mendengar kata-katanya itu.
- Mukanya merah, urat keningnya membengkak mendengar perkataan saya yang pedas itu.
- Kiranya saya pergi ke rumahnya itu masuk jerat semat-mata; dan tidaklah salah rasanya bila dikatakan, hal saya waktu itu adalah seperti lepas dari mulut harimau jatuh ke dalam mulut buaya.
- Rambutnya ikal sebagai awan berarak. Mukanya bulat bulan penuh. Matanya laksana bintang timur bersanding dua, dan hidungnya bagai dasun tunggal. Pipinya seperti pauh dilayang, bibirnya lamau seulas, mulutnya delima merekah.
- “Mudah-mudahan dapatlah sebagai yang Udo cita-citakan itu. Jika untung, ikan di laut asam digunung, lamun akan bertemu takkan dapat disangkal.
- Halimah pura-pura melayangkan pemandangannya ke laut lepas, melihat ombak tanjung cina yang segunung-gunung tingginya itu.
- Segala perasaannya pada Halimah, disimpannya dalam peti wasiat di sanubarinya.
- Mendengar perkataan Syekh Abdullah demikian itu, naiklah darah Midun.
- Ia mau terkurung selama hidupnya, asal jangan karena dia Halimah terserah kepada orang Arab mata keranjang itu