Senin, 17 Januari 2011

Etika Berdiskusi

1. Niat
Hendaknya seorang dai menahan diri untuk tidak berdiskusi, jika ia
tidak yakin bahwa motivasinya karena Allah Swt semata. Hendaklah ia
tidak mempunyai maksud untuk menunjukkan kepandaian dan keluasan
wawasannya dalam setiap perbincangan; atau mengangkat dirinya atas
orang lain dengan meremehkan lawan bicara; atau membanggakan diri
untuk mendapatkan sanjungan. Semua itu dapat menghapus pahala amalnya
di sisi Allah Swt dan merusak citranya di mata masyarakat.

Diriwayatkan bahwa ada seorang anak yang bertanya kepada bapaknya,
"Ayah, ananda melihat ayah melarang kami berdebat, padahal dahulu ayah
pendebat ulung." Sang bapak menjawab, "Wahai anakku, dahulu kami
berdebat dengan perasaan was-was yang amat sangat kalau-kalau kami
mengalahkan lawan bicara. Sedangkan kini, kalian berdebat dengan rasa
cemas jangan-jangan tergelincir lantas dikalahkan oleh lawan bicara. "

Perlu ditegaskan bahwa pelaku diskusi harus berhenti, jika ia
mendapati bahwa dirinya telah berubah dari tujuan semula; telah masuk
ke dalam suasana permusuhan dan pertentangan. Sabda Rasulullah Saw,
"Sesungguhnya larangan yang pertama ditujukan kepadaku setelah
penyembahan berhala adalah perdebatan (yang dibarengi dengan
permusuhan)) .. Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya saya berikan
jaminan dengan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang
meninggalkan perdebatan, padahal sesungguhnya ia adalah pihak yang
benar. Juga sebuah rumah di sekitarnya bagi orang yang meninggalkan
perdebatan, sementara ia berada di pihak yang salah."

2. Situasi yang Kondusif
Seorang pelaku diskusi hendaklah melihat situasi sebelum berdiskusi;
apakah cocok untuk melakukan diskusi atau tidak. Situasi yang
melingkupi kita menyangkut tiga macam, yaitu tempat, waktu, dan
manusianya. Ungkapan klasik menyatakan, "Tidak setiap yang diketahui
itu harus diucapkan. Setiap posisi sosial memiliki kata-katanya
sendiri."

3. Ilmu
Janganlah memperbincangkan suatu tema yang engkau sendiri tidak
mengerti dengan baik dan janganlah engkau membela suatu pemikiran
manakala kamu tidak yakin dengan pemikiran tersebut. Bashirah
(pengetahuan yang dalam) yang diisyaratkan dalam Al Quran berfungsi
sebagai perlindungan bagi dai untuk tidak berbicara tanpa ilmu dan
menahan dirinya dari usaha membantah argumentasi orang lain tanpa ia
sendiri mempelajari tema pembicaraan.
Rasulullah Saw bersabda, "Janganlah kamu mencari ilmu untuk berbangga
jadi ulama, merendahkan orang-orang bodoh, dan agar orang lain
berpaling kepadamu. Barangsiapa melakukan untuk itu, ia di neraka"
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

4. Manusia itu Beragam
Kemampuan otak manusia, tingkat pemahaman, dan keluasan wawasannya,
sangat berbeda-beda. Argumentasi yang bisa dipahami oleh Zaid, belum
tentu dapat dipahami oleh Amar. Pembicara yang baik adalah pembicara
yang memahami dengan siapa ia berbicara, lalu ia dapat menentukan
metode yang dianggap sesuai untuknya.

Salah satu cara untuk mengetahui tingkatan lawan bicara adalah dengan
melontarkan pertanyaan netral kepadanya yang mengesankan adanya
kesamaan pemikiran antara Anda, pembicara, dengannya. Dengan begitu,
Anda dapat mengukur kedalaman pengetahuannya tanpa menyinggung
perasaannya.

5. Jangan Mendominasi Pembicaraan
Pelaku diskusi atau pembicara secaara umum, tidak boleh mendominasi
pembicaraan; yakni tidak memberikan kepada pihak lain peluang
berbicara. Tetapi cegahlah ia berbicara yang bertele-tele, sehingga
keluar dari konteksnya. Mendominasi pembicaraan sama halnya dengan
serakah dalam urusan makan. Semua itu merupakan sikap tercela.

6. Mendengarkan dengan Baik
Pembicara yang baik adalah pendengar yang baik, karenanya jadilah
pendengar yang baik. Janganlah engkau memotong pembicaraan orang lain.
Sebaliknya, perhatikan ia sebagaimana engkau sendiri juga senang jika
orang lain memperhatikanmu. Ketahuilah bahwa kebanyakan orang
–sebenarnya- lebih menghormati pendengar yang baik daripada pembicara
yang baik.

Kadang-kadang ada situasi tatkala engkau mendengarkan suatu
pembicaraan, engkau melihat ada beberapa hal yang harus dievaluasi,
dikomentari, diluruskan, atau diperjelas dari pembicaraan itu. Tentu
saja sangat bermanfaat jika di tanganmu tersedia alat tulis dan kertas
untuk membuat catatan. Jika giliranmu untuk berbicara tiba, engkau
dapat menyampaikan catatanmu itu tanpa ada yang terlewatkaan. Sikap
seperti ini jauh lebih utama daripada jika engkau memutuskan benang
pikiran orang lain yang tengah diurai, yang akhirnya hanya merugikan
dirimu sendiri.

7. Perhatikan Diri Sendiri
Ketika engkau tengah berbicara, perhatikanlah dirimu sendiri; apakah
engkau berbicara terlalu keras? Ingatlah nasihat Lukman kepada
puteranya, "Dan sederhanakanlah engkau dalam berjalan dan lunakkan
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.".

Perhatikanlah dirimu: apakah engkau merasa lebih berilmu? Apakah
'perasaan lebih' itu tampak pada raut muka, tutur kata, atau gerakan
tanganmu? Jika engkau merasakannya, ubahlah segera caramu itu. Jika
merasa ada yang salah, segeralah minta maaf. Janganlah engkau
mengikuti emosimu, sehingga engkau mengubah diri dari seorang kawan
diskusi menjadi seorang penceramah. Karena bisa saja dari mulut
seseorang keluar kata-kata kasar, ungkapan pedas, kalimat yang
mengesankan dirinya seorang guru, pemberi petuah, sok merasa besar,
dan semisalnya yang dapat melahirkan dampak negatif bagi diskusi yang
dilakukannya.

8. Kejelasan
Tegasnya ungkapan, fasihnya lisan, dan bagusnya penjelasan adalah
sebagian dari pilar-pilar penopang diskusi dan dialog yang produktif.

Rasulullah Saw bersabda, "Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci
dan paling jauh mejelisnya dariku pada hari kiamat adalah orang-orang
yang berlebihan dalam berbicara, yang suka mengungguli orang lain
dengan perkataannya, dan yang menunjuk-nunjukkan mulut besarnya dengan
omongan untuk menampakkan kelebihan di hadapan orang lain." (HR. Ahmad
dan Tirmidzi).

Suatu isyarat yang tepat bisa lebih berguna dari uraian dan penjelasan
panjang lebar. Tindakan ini sekaligus berguna untuk mengoreksi
kesalahan yang diperbuat orang lain tanpa membuat mereka tersinggung.
Itulah yang pernah dilakukan oleh dua cucu Rasulullah Saw, Hasan dan
Husain, ketika melihat seseorang yang kurang benar dalam berwudhu.
Sementara rasa malu kepada orang itu menghalangi mereka untuk
mengingatkannya secara terus terang. Keduannya (Hasan dan Husein) pun
bermusyawarah, lalu bersepakat mendatanginya dan meminta kepadanya
untuk menilai mereka berdua, mana yang lebih benar wudhunya. Orang itu
lalu melihat secara cermat dan menilai wudhunya Hasan dan Husein.
Setelah itu, sadarlah dia bahwa selama ini ia tidak bisa berwudhu
dengan baik seperti wudhunya Hasan dan Husein. Inilah yang dimaksud
dengan bayan (kejelasan).

9. Penggunaan Ilustrasi
Pelaku diskusi yang cerdik adalah mereka yang pandai membuat ilustrasi
guna melengkapi dan memperjelas setiap uraian pembicaraannya. Imam
Ghazali pernah membuat ilustrasi untuk orang yang mencegah kemungkaran
dengan kekerasan. Mereka seperti orang yang ingin menghilangkan bercak
darah dengan air kencing. Cara mencegah kemungkaran seperti itu adalah
bentuk kemungkaran yang lain, bahkan bobot kemungkarannya lebih besar
daripada kemungkaran yang diberantas. Kedua-duanya sama-sama najis,
tetapi najisnya air kencing lebih berat.

10. Memperhatikan Titik-Titik Persamaan
Ketika seorang dai berbicara, hendaklah ia memulai pembicaraan dengan
mengungkap titik-titik persamaan yang ada. Hal-hal yang asiomatik.

Dale Carnagie mengatakan, "Buatlah lawan bicaramu sepakat ataas
contoh-contoh yang engkau lontarkan kepadanya dan biarkan ia menjawab
dengan kata 'ya'. Jauhkanlah –sebisa mungkin- antara dia dengan kata
'tidak'. Karena kata 'tidak' merupakan rintangan yang sulit diatasi
daan sulit dikalahkan. Seseorang yang telah berkata 'tidak',
kesombongan akan memaksanya untuk senantiasa membela diri. Kata
'tidak' itu sebenarnya lebih dari sekedar kata yang terdiri dari
beberapa huruf. Ketika seseorang berkata 'tidak', maka urat saraf dan
emosinya terangsang untuk mendukung sikap penolakannya. Berbeda dengan
kaata 'ya', yang sama sekali tidak membebani gerak jasmani."

Dikisahkan, bahwa Socrates, seorang ahli hikmah dan filosof Yunani
yang terkenal, juga mengikuti cara ini. Ia memulai diskusinya dengan
orang lain dari titik-titik persamaan di antara mereka berdua. Ia
bertanya kepada lawan bicaranya dengan pertanyaan-pertanya an yang
tidak membutuhkan jawaban, kecuali kata 'ya'. Demikianlah Socraates
terus mendapatkan jawaban 'ya' secara beruntun, sehingga lawan bicara
menyadari bahwa dirinya telah menyetujui suatu ide yang beberapa saat
sebelumnya ditolaknya mentah-mentah.

11. Saya Tidak Tahu
Apabila lawan diskusimu mengemukakan sesuatu pembicaraan yang engkau
tidak memahaminya, janganlah engkau malu untuk bertanya dan meminta
penjelasan. Karena apabila engkau diam, engkau akan rugi, akan
dikatakan sebagai orang bodoh atau orang yang berusaha menutupi
kebodohannya. Ketahuilah bahwa banyak pemimpin besar umat yang tidak
malu mengatakan, "Saya tidak tahu!" Ia menjauh dari berfatwa tanpa
pengetahuan yang cukup tentang masalah yang difatwakan.

12. Tidak Fanatik dan Mengakui Kesalahan
Sikap fanatik dalah sikap tetap tidak menerima kebenaran setelah
adanya kejelasan dalil. Seorang muslim adalah pencari kebenaran. Ia
tidak fanatik kepada individu, kelompok, atau paham tertentu.
Berpijaklah di atas kebenaran di manapun kebenaran itu berada.

Mengakui kesalahan –setelah tidak mengakuinya di awal pembicaraan-
dapat menarik simpati dan penghargaan dari lawan bicara. Berbeda
halnya jika ia bergeming dengan kesalahannya, hal ini bisa
menghilangkan rasa hormat dari orang lain, juga dari dirinya sendiri.

13. Jujur dan Kembali ke Sumber Rujukan
Hormatilah kebenaran. Jadilah orang yang jujur ketika menyampaikannya.
Janganlah engkau memotong ungkapan, sehingga mengubah konteksnya atau
mencabut daari relevansinya dengan memberikan penafsiran sesuai dengan
keinginanmu. Di antara cara menghormati kebenaran adalah engkau tidak
berargumentasi dengan mengutip pendapat orang yang tidak bisa
dipercaya ilmu dan kejujurannya.

14. Menghormati Pihak Lain
Umar bin Khattab r.a berkata, Jangan sekali-kali engkau berprasangka
terhaadap kata-kata saudaramu seiman selain dengan kebaikan, selama
engkau dapati pada kata-kata itu peluang kepada kebaikan.

Diantara wasiat Rasululah Saw adalah, Seorang muslim adalam saudara
bagi muslim (yang lain). Karenanya ia tidak menzhalimi, tidak
meninggalkan, tidak merendahkan, dan tidak menghinakan. Cukuplah
seseorang disebut buruk lantaran merendahkan saudara muslim yang lain.

15. Pemikiran dan Pemiliknya
Dalam suatu diskusi, sebaiknya yang dibahas, dianalisis, dikritik, dan
disanggah adalah pemikirannya, bukan pemilik pemikiran itu. Hal itu
untuk menghindari berubahnya forum diskusi menjadi forum percekcokan
yang disertai dengan caci maki atau berubah dari forum diskusi
pemikiran menjadi forum perseteruan fisik oleh individu-individu yang
ada.

16. Yang Lebih Baik
"Berdebat dengan cara yang baik" itu artinya engkau tidak bersikap
apriori terhadap pendapat lawan bicaramu dan menunjukkan penghargaan
kepadanya, meskipun pendapat itu barangkali bertentangan dengan
pikiranmu.

17. Menyerang dan Mematahkan
Metode menyerang dalam berdiskusi, meskipun dengan argumentasi yang
kuat dan dalil yang nyata, dapat menimbulkan kebencian bagi orang
lain. Hal itu karena mendapatkan simpati hati, sebenarnya lebih
penting daripada mendapatkan perubahan sikap tetapi tidak berangkat
dari hati yang tulus. Adapun jika engkau bersikap lemah lembut, ia
akan merasa puas dengan pendapatmu, cepat atau lambat.

18. Perbedaan Pendapat dan Kasih Sayang
Perbedaan pendapat, sampai pun antarkawan dan sahabat, sering sampai
menghapuskan rasa cinta dan kasih sayang. Waspadalah untuk tidak jatuh
ke dalamnya. Perdebatan atau perbincangan, atau diskusi pada umumnya
berpengaruh terhadap perasaan dan hati. Ingatlah hal ini tatkala
engkau tengah berbicara dengan seseorang. Janganlah engkau tunjukkan
sikap permusuhan kepada seseorang.

19. Jangan Marah
Jika lawan bicaramu tidak setuju dengan pendapatmu, jangan terburu
marah. Janganlah engkau coba memaksakan semua orang untuk mengiyakan
apa yang engkau anggap benar.

20. Ketika Logika Tak Lagi Berarti
Kadang-kadang, ketika engkau memulai diskusi, rasa permusuhan telah
menguasai salah satu dari kedua belah pihak. Dalam keadaan demikian,
apabila pihak yang menghadapinya dengan sikap yang baik, niscaya
permusuhan itu akan berubah menjadi persahabatan dan kebencian berubah
menjadi kasih sayang. Nasihat ini berguna bagi para orang tua yang
suka mencela, para suami yang cerewet, para guru yang berhati batu,
dan para pemimpin yang tengah marah.

21. Jangan Menggunakan Kata Ganti Orang Pertama
Sebaiknya seorang dai tidak menggunakan kata ganti orang pertama dalam
berbicara, seperti "Saya telah berbuat demikian", atau "Saya senang
menjelaskan masalah ini" atau 'Pendapatku dalam masalah ini adalah
demikian." Sebaiknya pula ia menjauhi penggunaan kata ganti orang
pertama jamak. Misalnya, "Pengalaman kami membuktikan yang demikian.
Apabila kami mempelajari masalah yang diperselisihkan, tampak bagi
kami hal-hal berikut ini."

Mengapa semua itu harus dihindari? Karena apabila hal itu digunakan
ketika berbicara, dikhawatirkan dapat menyeret pembicara –baik
disadari maupun tidak- kepada sikap memuji diri sendiri dan
menonjol-nonjolkan pengalaman dan keluasan wawasannya. Ini berarti
kejatuhan di awal langkah yang dapat merusak niat.

Sebagai gantinya, berbicaralah dengan menggunakan pola ungkapan yang
tidak langsung menisbatkan pengetahuan kepada pembicara dan yang
menimbulkan kesan objektif, seperti, "Agaknya para peneliti telah
membuktikan adanya..." atau "Pengalaman para pakar di lapangan dakwah
menunjukkan akan kebenaran orang yang mengatakan.. .," atau "Seorang
dai yang telah malang melintang di dunia dakwah memberi komentar
terhadap masalah yang kita hadapi...dan patut kita mengambil pelajaran
darinya."

22. Jangan Keraskan Suaramu
Orang yang tengah berdialog sebaiknya tidak mengeraskan suaranya lebih
dari yang dibutuhkan oleh pendengar, karena suaraa yang keras itu
jelek dan menyakitkan. Pelaku dialog bukanlah seorang orator yang
terkadang –pada saat-saat tertentu- dituntut harus mengeraskan
suaranya. Perlu diingatkan pula, bahwa kerasnya suara sama sekali
tidak dapat menguatkan suatu argumentasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar