Prinsip pertama adalah prasangka baik, atau husnuzzhan. Kalau tidak bersedia untuk berprasangka baik terhadap rekan diskusi, lebih baik saling lempar batu sajalah! Kita berdiskusi karena kita yakin bahwa orang yang kita ajak diskusi ini memiliki kebenaran yang belum kita ketahui, atau setidaknya proses diskusi itulah yang akan menambah ilmu kita. Kita tidak berdiskusi untuk mempertahankan pendapat atau mengubah pendapat orang lain. Jika kita sudah merasa benar, maka jelas kita sudah berbuat salah.
Siapa yang yakin dirinya benar? Kalaupun berdalil Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka siapakah yang haqqul yaqin bahwa penafsirannya benar?
Diskusi bertujuan untuk membuka mata kita. Seekor gajah adalah seekor gajah. Akan tetapi, melihat gajah dari arah depan tentu berbeda dengan arah belakangnya. Suatu masalah yang sama bisa terlihat berbeda kalau kita mengubah perspektif kita.
Bayangkanlah seorang sarjana pertambangan yang sedang berdiskusi dengan sarjana ilmu lingkungan. Sarjana pertambangan itu hendak membangun sebuah fasilitas tambang tembaga, misalnya, namun rencana itu ditolak oleh sang sarjana ilmu lingkungan dengan alasan hal tersebut akan memperparah kerusakan lingkungan. Kalau masing-masing kubu tidak mau melihat sisi baik dari rekan diskusinya, maka debat ini tidak akan berujung. Padahal kedua kubu tidak ada yang berniat jelek. Sarjana pertambangan ingin mengeksploitasi tembaga di daerah tersebut agar Indonesia tidak perlu impor tembaga lagi, sekaligus juga menambah lapangan kerja. Di sisi lain, sarjana ilmu lingkungan itu pun tidak punya maksud untuk memboikot pemasukan negara atau perluasan tenaga kerja. Ia hanya prihatin terhadap masalah lingkungan. Adakah yang salah dalam hal ini? Tentu tidak.
Prinsip kedua adalah memperhatikan masalah secara objektif. Dalam hal sarjana pertambangan dan sarjana ilmu lingkungan tadi, masalahnya adalah pada pengolahan limbah yang dikhawatirkan akan merusak lingkungan. Kalau penambangan tembaga bisa dilakukan tanpa merusak lingkungan, tentu sang sarjana ilmu lingkungan tidak perlu mencak-mencak. Dengan demikian, yang harus dibicarakan adalah cara-cara untuk menanggulangi dampak buruk dari penambangan tersebut terhadap lingkungan. Kalau masing-masing hanya ingin saling ngotot dengan keinginannya, bisa dipastikan akan terjadi deadlock.
Dalam masalah tenaga dalam pun sering dialami hambatan objektivitas. Seringkali, istilah ‘tenaga dalam’ dianggap menyalahi fiqih, padahal pengertiannya sendiri bisa beragam. Metode yang digunakan bisa sangat berbeda, dan karenanya tidak bisa dipukul rata begitu saja. Apakah Anda akan menyalahkan orang yang bisa mematahkan baja dengan tangannya hanya dengan bekal berlatih push-up? Apakah Anda akan menyalahkan orang yang bisa melompat tinggi karena melatih otot-otot kakinya? Tentu metode-metode semacam ini tidak bisa disalahkan oleh fiqih. Akan tetapi, kalau istilah yang digunakannya adalah ‘tenaga dalam’, akankah metode-metode ini tetap dianggap sesat? Seringkali diskusi semacam ini berkutat pada istilah dan malah melupakan esensi masalah yang sedang diperbincangkan.
Prinsip ketiga adalah selalu berbicara dengan bukti, bukan dengan emosi. Jika Anda mengatakan si A begini dan si B begitu, maka tunjukkanlah buktinya. Menuduh Harun Yahya meniru kristen fundamentalis adalah sebuah fitnah, kecuali jika Anda bisa menunjukkan buktinya. Menuduh seseorang berzina adalah sebuah kezaliman, kecuali jika Anda bisa memberikan bukti atau mengedepankan saksi-saksinya.
Prinsip ini harus selalu dipegang demi objektivitas. Janganlah mengatakan “Semuanya begini begitu….”, tapi katakanlah “Saya sudah meneliti pihak ini dan itu, metode penelitian saya begini dan begitu, dan akhirnya saya menyimpulkan begini dan begitu…” Jangan membuat suatu klaim tanpa riset terlebih dahulu. Jika hanya sebagian, maka jangan katakan seluruhnya. Jika sampel yang kita ambil baru sedikit, jangan gegabah dan melangkah pada generalisasi. Katakanlah sejujurnya!
Seseorang pernah mengatakan pada saya bahwa Sayyid Quthb itu sesat. Ketika saya tanya buktinya, ia hanya mengatakan bahwa gurunya lebih tahu. Seseorang yang lain pernah mengatakan bahwa sebuah perguruan bela diri itu sesat. Ketika saya tanya tentang apa yang dia tahu perihal metode berlatih, konsep dan penjelasan dari perguruan tersebut, orang itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ada pula orang yang mengecam seorang penulis, namun ternyata ia bahkan tidak pernah membaca karya-karya tulis orang yang dicelanya itu. Orang-orang semacam ini memang tidak pernah hadir di dalam diskusi kecuali sebagai pengacau atau provokator.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar